Meski belum resmi, awal puasa 1 Ramadhan berdasarkan hasil
hisab Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah akan jatuh
pada Sabtu 28 Juni 2014.
Berdasarkan data awal bulan Hijriyah
Kalender Muhammadiyah 2014, yang merupakan hasil hisab, ijtimak atau
konjungsi awal bulan Ramadan jatuh pada Jumat 27 Juni, pukul
15:10:21WIB. Adapun tinggi bulan di Yogyakarta adalah 0° 31' 17".
Dengan kata lain pada saat terbenam matahari posisi hilal berada di atas
ufuk sehingga tanggal 1 Ramadhan jatuh pada Sabtu, 28 Juni 2014.
Umat
Islam akan memulai puasa Ramadan pada hari itu, sementara ibadah
tarawih sudah dapat dimulai pada Jum’at malam, 27 Juni 2014 setelah
salat Isya.
Pernyataan itu disampaikan Wakil Sekretaris Majelis
Pustaka Informasi PP Muhammadiyah, Iwan Setiawan, saat diminta
tanggapannya mengenai berita media massa soal penetapan awal puasa
Muhammadiyah, Kamis (1/5/2014).
Iwan menjelaskan judul-judul
berita di media massa yang bersumber dari ketua umum PP Muhammadiyah Din
Syamsuddin saat membuka Sarasehan Astrofotografi (29/4/2014), sedikit
memberi penafsiran yang berbeda.
“Sesuai penjelasan Ketum PP
Muhammadiyah, hilal Ramadan saat tanggal 27 Juni 2014 sudah dapat
dikatakan wujud, sehingga selepas matahari terbenam tanggal 1 Ramadan
1435 H akan dimulai, karena dimulainya hari dalam kalender hijriyah
adalah waktu maghrib (terbenam matahari). Dengan demikian, puasa akan
dilaksanakan esok harinya, yakni pada tanggal 28 Juni 2014,” jelasnya.
Judul
diberbagai media bahwa Muhammadiyah menjatuhkan 1 Ramadhan pada 27 Juni
2014 menurut Iwan Setiawan akan mempersepsikan bahwa awal puasa adalah
pada tanggal tersebut, padahal tidak begitu.
“Karena yang jatuh
pada tanggal 27 Juni itu peristiwa ijtimak atau konjungsi sebagai tanda
berakhirnya bulan lama ke bulan yang baru, dan apabila tinggi hilal
berada di atas ufuk saat terbenamnya matahari, maka itulah tanda
dimulainya 1 Ramadhan dan puasa akan diawali esok hari, tanggal 28 Juni
2014,” tegasnya.
Lebih lanjut menurut Iwan setiawan, sudah menjadi
kebiasaan Pimpinan Pusat Muhammadiyah bahwa untuk ketetapan awal bulan
Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah akan dikeluarkan secara resmi malalui
Maklumat.
“Jadi sebagai warga Persyarikatan, kita akan tetap
menunggu ketetapan awal bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah melalui
Maklumat PP Muhammadiyah. Karena dalam maklumat tersebut akan dijelaskan
secara detail baik perhitungan, penjelasan, dan himbauan PP
Muhammadiyah,” pungkasnya.
PENJELASAN SINGKAT TENTANG METODE HISAB MUHAMMADIYAH
‘Hisab’
yang kerap kali oleh masyarakat dijadikan sebagai julukan atau label
bagi Muhammadiyah arti harfiahnya adalah perhitungan. Metode hisab
Muhammadiyah berarti rangkaian proses perhitungan yang digunakan untuk
menentukan arah suatu tempat dari tempat lain, atau menentukan posisi
geometris benda benda langit untuk kemudian mengetahui waktu saat di
mana benda langit menempati posisi tersebut, atau mengetahui apakah
suatu siklus waktu sudah mulai atau belum.
Metode hisab
Muhammadiyah, sebagaimana terlihat dalam buku Pedoman Hisab
Muhammadiyah, sekurang-kurangnya meliputi 4 (empat) obyek, yaitu hisab
arah kiblat, hisab waktu-waktu salat, hisab awal bulan kamariah, dan
hisab gerhana matahari dan bulan.
Dalam makalah ini uraian
difokuskan pada hisab awal bulan Qamariah dengan pertimbangan bahwa
penggunaan hisab dalam hisab arah kiblat, waktu-waktu salat, dan gerhana
tidak mengundang banyak kontroversi di masyarakat. Sedangkan penggunaan
hisab untuk menentukan awal bulan kamariah hingga sekarang masih
menjadi polemik antara mereka yang mengabsahkan penggunaannya dengan
yang menolaknya.
Bahkan di kalangan warga Muhammadiyah sendiri
masih ada yang mempertanyakan keabsahan penggunaan hisab tersebut
sehubungan dengan jelasnya sabda Nabi saw tentang rukyat yang
memerintahkan puasa dan lebaran setelah terlihatnya hilal dan larangan
mulai puasa dan lebaran sebelum terlihatnya hilal.
Dalam
perkembangannya, khususnya berkaitan dengan penentuan awal bulan
Qamariah, metode hisab tidak hanya memperbincangkan tentang proses
perhitungan dengan perangkat data dan rumusnya, tetapi ke dalam
terminologi metode hisab ini dimasukkan pula hal-hal yang berkaitan
dengan metode yang digunakan untuk menentukan penanda awal bulan
Qamariah.
Hal ini mudah dipahami karena hisab dalam arti proses
perhitungan semata-mata tidak akan membawa pada kesimpulan apa pun
tentang sudah mulai atau belumnya bulan baru Qamariah sebelum ditentukan
apa yang menandakan masuknya bulan baru Qamariah tersebut, atau dengan
perkataan lain, sebelum diketahui fenomena benda langit apa dan
kedudukannya seperti apa yang menandakan awal bulan Qamariah yang harus
dihitung tersebut.
Penanda Awal Bulan Qamariah
Terdapat
banyak pandangan mengenai penentuan penanda awal bulan Qamariah, lima
di antaranya diuraikan dalam buku Pedoman Hisab Muhammadiyah.
Pertama,
ijtimak sebelum fajar; awal bulan Qamariah ditandai dengan terjadinya
ijtimak (konjungsi) bulan dan matahari sebelum terbit fajar.
Kombinasi
fenomena ijtimak bulan-matahari dan terbit fajar merupakan penanda awal
bulan baru Qamariah bagi pandangan ini. Ijtimak bulan-matahari yang
terjadi sebelum terbit fajar menunjukkan bahwa sejak saat terbit fajar
tersebut bulan baru (tanggal 1bulan baru) Qamariah dimulai.
Dengan
perkataan lain, awal bulan baru Qamariah dimulai sejak terbit fajar
yang terjadi menyusul setelah terjadinya ijtimak bulan-matahari.
Sebaliknya, terbit fajar yang terjadi menjelang terjadinya ijtimak
bulan-matahari merupakan hari terakhir dari bulan Qamariah yang sedang
berlangsung.
Kedua, ijtimak sebelum gurub (terbenam
matahari); awal bulan Qamariah ditandai dengan terjadinya ijtimak
(konjungsi) bulan dan matahari sebelum terbenam matahari. Kombinasi
fenomena ijtimak bulan-matahari dan terbenam matahari merupakan penanda
awal bulan baru Qamariah bagi pandangan ini.
Ijtimak
bulan-matahari yang terjadi sebelum terbenam matahari menunjukkan bahwa
sejak saat terbenam matahari tersebut bulan baru (tanggal 1 bulan baru)
Qamariah dimulai. Dengan perkataan lain, awal bulan baru Qamariah
dimulai sejak terbenam matahari yang terjadi menyusul setelah terjadinya
ijtimak bulan-matahari.
Sebaliknya, terbenam matahari yang
terjadi menjelang terjadinya ijtimak bulan-matahari merupakan hari
terakhir dari bulan Qamariah yang sedang berlangsung.
Ketiga,
bulan terbenam setelah matahari terbenam; awal bulan Qamariah ditandai
dengan pertama kalinya matahari terbenam sebelum terbenam bulan, atau
pertama kalinya terbenam bulan sesudah terbenam matahari.
Kombinasi
fenomena terbenam matahari dan terbenam bulan merupakan penanda awal
bulan baru Qamariah bagi pandangan ini. Terbenam matahari yang pertama
kali terjadi sebelum terbenam bulan menunjukkan bahwa sejak saat
terbenam matahari tersebut bulan baru (tanggal 1 bulan baru) kamariah
dimulai. Dengan perkataan lain, awal bulan baru Qamariah dimulai sejak
terbenam matahari yang terjadi sebelum terbenam bulan.
Sebaliknya,
terbenam matahari yang terjadi menjelang terjadinya sesudah terbenam
bulan menunjukkan awal bulan baru Qamariah belum dimulai.
Keempat,
imkanur-rukyat; awal bulan Qamariah dimulai sejak terbenam matahari
manakala ketinggian bulan saat itu mencapai tingkat sedemikian rupa
sehingga dalam keadaan normal tanpa ada gangguan bulan mungkin atau
bahkan dipastikan dapat dilihat.
Ukuran ketinggian bulan yang
mungkin dapat dilihat tersebut oleh pemerintah Indonesia, khususnya oleh
Kementerian Agama RI ditetapkan 02°di atas ufuk (horizon). Ketinggian
bulan minimum 02°dan terbenam matahari ini merupakan kombinasi fenomena
alam yang menandai dimulainya awal bulan baru Qamariah.
Jika pada
suatu ketika, saat terbenam matahari ketinggian bulan minimum 02°di atas
ufuk, maka saat itu dimulailah tanggal 1 bulan baru Qamariah,
sebaliknya apabila ketinggian bulan tidak mencapai batas minimum
tersebut maka awal bulan baru Qamariah belum dimulai.
Kelima,
wujudul-hilal; awal bulan baru kamariah dimulai sejak terbenam matahari
yang terjadi untuk pertama kalinya setelah terjadi ijtimak
bulan-matahari dan sebelum terbenam bulan.
Jadi untuk dapat
ditetapkan tanggal 1 bulan baru Qamariah pada saat matahari terbenam
tersebut harus terpenuhi tiga syarat secara kumulatif, yaitu sudah
terjadi ijtimak bulan-matahari, ijtimak bulan-matahari terjadi sebelum
terbenam matahari, dan pada saat terbenam matahari bulan belum terbenam.
Jika salah satu saja dari tiga syarat tersebut tidak terpenuhi maka awal bulan baru Qamariah tidak dapat ditetapkan.
Penanda
awal bulan Qamariah sebagaimana diuraikan di atas, masih terbatas pada
perspektif hisab hakiki, yaitu perhitungan terhadap fenomena benda
langit secara faktual (menurut yang sesungguhnya).
Di samping itu, masih ada penanda lain yang dipedomani dalam hisab
urfi atau dalam metode rukyat. Penanda awal bulan Qamariah dalam metode rukyat adalah terlihatnya hilal.
Seperti
terlihat dalam uraian di atas, acuan dalam penetapan awal bulan
Qkamariah adalah fenomena bulan. Meskipun persisnya fenomena bulan yang
dijadikan penanda awal bulan tersebut bervariasi dan kombinasinya dengan
fenomena atau variabel lain berbeda, namun tidak dapat dipungkiri bahwa
acuan pokok dalam penentuan awal bulan Qamariah adalah bulan. Bahkan
bukan saja menjadi acuan dalam penentuan awal bulan Qamariah tetapi juga
otomatis menjadi acuan dalam kalender kamariah.
Itulah sebabnya
bulan atau kalender dimaksud diberi label ‘Qamariah’ (berasal dari kata
Arab ‘qamariyyah’ dari kata benda ‘qamar’ artinya bulan). Hal ini
berbeda dengan bulan atau kalender masehi yang acuannya fenomena
matahari, dan oleh karenanya dikenal dengan bulan atau kalender
‘syamsiah’ (berasal dari kata Arab ‘syamsiyyah’ dari kata benda ‘syams’
artinya matahari. (muhammadiyah.or.id/Kabar24.com)
Editor: Eries Adlin
Sumber: http://www.kabar24.com